Siapa yang menyangka tak jauh dari pusat kota Semarang terdapat tempat wisata alam yang masih alami dan eksotis. Berada di perbatasan Semarang dan kabupaten Ungaran, air terjun Curug Lawe menanti dengan anggun.


Perjalanan kali ini sebenarnya bukan kali pertama saya mengunjungi air terjun setinggi 30 meter ini. Sekitar 2004 silam saya pernah kesini dengan teman-teman pecinta alam SMA dulu. Setelah sembilan tahun, akhirnya saya menjelajah Curug Lawe lagi.

Berbeda dengan penjelajahan sebelumnya yang biasanya saya lakukan sendiri atau dengan teman-teman komunitas, kali ini saya akan blusukan dengan keluarga. Jadi sebagai persiapan saya bawa juga air minum sekitar tiga liter untuk konsumsi empat orang. Selain itu, pakaian ganti juga wajib ada karena pasti tak akan sanggup menahan hasrat berbasahria di bawah curug. Saran saya, pakai sepatu atau sandal gunung yang kuat. Medan cukup berat sehingga lebih baik kaki terlindung aman selama perjalanan.

Menuju Curug Lawe tak sulit. Ada dua alternatif rute untuk mencapainya. Bila lewat Ungaran, ambil jalur menuju Gunungpati sampai melewati pertigaan arah Universitas Negeri Semarang. Dari situ, maju tak sampai 1km akan ada penunjuk jalan untuk berbelok ke kiri. Bila menempuh perjalanan dari Gunungpati, bisa ambil rute menuju ungaran sampai menemukan penunjuk jalan untuk berbelok ke arah desa Sumur Gunung.

Ikuti saja jalan desa itu, bila ragu jangan malu untuk bertanya pada warga setempat, mereka dengan senang hati akan menunjukkan jalan yang benar menuju areal parkir Curug Lawe.

Setelah pemanasan sedikit, petualangan dimulai. Baru saja start, kita langsung dihadapkan pada jalanan perkebunan yang menanjak. Mau tak mau nafas terasa ngos-ngosan. Untung saja jalan itu tak panjang. Hanya sekitar 100 meter akan mudah ditemui penunjuk jalan karya mahasiswa KKN yang menunjukkan arah menuju curug. Penunjuk itu menuju ke arah saluran irigasi yang akan menuntun kita menuju curug di hulu aliran.

500meter pertama perjalanan akan menempuh saluran irigasi. Berhati-hatilah, jalan sangat sempit dengan jurang di tepiannya. di Beberapa titik jalan menyempit dengan lebar sekitar 30cm, jadi tetap fokus dan tenang.

Titik menarik pertama adalah jembatan air yang menghubungkan saluran air. Dibawahnya langsung menghampar jurang yang cukup dalam, tetapi pemandangan dari jembatan ini cukup menenangkan jantung yang dag-dig-dug kencang.




Pintu air menjadi salah satu checkpoint perjalanan. Disini perjalanan menelusuri saluran irigasi berakhir dan berganti jalan setapak yang lebih menantang. Beberapa meter dari sini juga akan ditemukan percabangan. Jalan ke kanan akan mengantarkan ke Curug Lawe, sedangkan jalur kiri akan membawa ke curug Benowo.
 Sedikit pemandangan sungai dari bendungan

Terdapat dua jembatan kayu dalam penjelajahan ini. Keduanya menyeberangi arus sungai yang cukup deras. berhati-hatilah karena bila hujan jembatan kayu ini cukup licin.


Jalan setapak yang dilalui memiliki medan yang bervariasi. Mulai dari jalan setapak tanah yang landai hingga tanjakan curam berbatu yang memaksa untuk berpegangan dan merambat.

Beberapa kali kita akan dibawa menyeberang sungai. Itu sebabnya saya tak menyarankan mengenakan sandal jepit karena sandal jepit basah justru membuat kaki kerap tergelincir permukaan sandal.


Jangan khawatir akan bosan selama perjalanan. Pemandangan-pemandangan indah dan gemericik air sungai yang bening akan terus menemani.
Sesekali saya juga ingin nampang

Setelah berjuang cukup keras, akhirnya sampai juga di Curug Lawe. Konon penamaan ini berdasarkan pada jumlah air terjun dan mata air yang berjumlah 25 buah (jawa: selawe) (kalau tidak percaya hitung saja sendiri :D)




Salah satu asiknya air terjun ini adalah belum banyak orang yang mampir kesini. Selain itu seluruh panoramanya masih benar-benar asri dan menambah eksotisme Curug Lawe. Setelah puas menghabiskan baterai kamera, akhirnya kami kembali ke tempat parkir dengan hati puas dan kaki sedikit pegal karena petualangan yang menantang.