Suhu politik
semakin memanas seiring semakin dekatnya momen Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Beragam wacana dan propaganda mulai dilontarkan, baik melalui pemberitaan,
esai, sampai media alternatif yang sedang populer: meme. Terlepas dari sifatnya
yang ringkas dan terkadang lucu, tersimpan ancaman dalam medium yang disebut
terakhir ini berupa disinformasi yang dapat memperkeruh situasi dalam negeri.
Meme tengah menjadi
alternatif favorit untuk menyebarkan propaganda belakangan ini. Masuk saja ke grup-grup
pembahasan politik di berbagai media sosial, medium ini pasti mudah ditemui. Kemudahan
mereproduksi dan me-repost meme di berbagai
saluran membuatnya menjadi salah satu cara menyebarkan informasi yang ramah
media sosial. Apalagi saat ini beragam media penunjang penyebaran meme begitu
terjangkau. Cukup menyentuh gawai yang ada di genggaman, meme bisa menyebar dan
dikonsumsi melalui berbagai media sosial dan aplikasi perpesanan instan
sebangsa Whatsapp atau Line. Itulah tren komunikasi wacana masa
kini.
Mengapa meme? Ada
beberapa alasan yang membuat meme menjadi media baru untuk berwacana. Salah
satunya tak lain karena bentuk meme yang menarik. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan meme sebagai gambar yang dimodifikasi dengan menambahkan kata-kata
untuk tujuan melucu atau menghibur. Kata kuncinya ada pada kata ‘gambar’ dan
‘lucu’. Meme akan memanfaatkan unsur visual yang kuat yang biasanya ikonik,
untuk menyampaikan pesannya.
Tampil hanya
dengan foto atau gambar saja saja sebenarnya meme sudah bisa menyuarakan
sesuatu. Namun kekuatan gambar ini diperkuat dengan teks-teks yang disematkan
ke dalamnya sekaligus untuk membantu pembacanya memahami konteks di balik
penyebaran meme itu. Sementara, unsur kelucuan tak melulu yang berupa lelucon
tanpa arti. Bentuk humor yang memicu kelucuan bisa beraneka ragam. Dari yang
lugas dengan tujuan mengocok perut, sampai sinis dan sarkastis untuk
menyampaikan aspirasi dan kritik.
Penggunaan unsur
visual ini menjadi keunggulan meme dalam mengusung dan menyebarkan wacana:
menarik, ringkas, cepat diinterpretasikan. Seperti jargon terkenal yang dilontarkan
editor New York Evening Journal,
Arthur Brisbane, 1911 silam, “Use
a picture, it’s worth a thousand word!” Sebuah gambar bermakna lebih
dari ribuan kata. Meme pun tampil sebagai sebuah paket lengkap bom wacana,
pesannya tersampaikan, nyinyirnya muncul, lucunya kena, cepat dikonsumsi, dan
mudah disebarluaskan. Komplet!
Beragam keunikan
meme itu klop dengan alasan kedua yang membuat medium ini menjadi alat yang
efektif untuk menggiring opini, yaitu pola penggunaan Internet warga Indonesia.
Survei Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkap pada 2017
terdapat 143,7 juta pengguna Internet di Indonesia atau lebih dari separuh
total populasi Indonesia. Mayoritas, sebesar 49,52% merupakan pengguna berusia
19-34 tahun, usia yang masuk dalam kategori pemilih potensial.
Dari keseluruhan
jumlah pengguna, 83,44% menggunakan ponsel pintar untuk mengakses pintar karena
kepraktisannya. Sedangkan lima besar layanan yang diakses para warganet adalah
untuk chatting (89,35%), bermedia
sosial (87,13%), menggunakan mesin pencari (74,84%), melihat gambar/foto
(72,79%), dan menonton video (69,64%). Bandingkan dengan layanan artikel yang
hanya diakses 56,77% pengguna. Data ini menunjukkan karakter warganet yang
lebih memilih mengonsumsi produk berupa gambar ketimbang tulisan. Wajar bila
kemudian meme menjadi pilihan. Gambar lucu ini mampu mengakomodasi perilaku
umum netizen yang ingin segalanya serba ringkas dan praktis. Tanpa harus
membaca tulisan panjang lebar, mereka dapat memahami maksudnya dan dengan mudah
membagikannya di linimasa media sosial. Tujuan akhirnya jelas, untuk menjadi
viral dan beredar secara luas.
Potensi Disinformasi
Jika dibaca dari
data dan fakta yang ada, tak mengherankan bila sejumlah simpatisan politik
sudah mulai menggunakan media ini sebagai alat propaganda baru. Sebagian meme
berusaha menjatuhkan lawan politik, meme yang lain berupaya melakukan serangan
balik atas agresi yang muncul. Baku
hantamnya berlangsung timbal balik sehingga penyebutan perang meme karena kacau
dan riuhnya adu wacana lewat meme membuat istilah itu layak digunakan.
Di tengah perang
meme itu muncul potensi bahaya yang muncul dalam bentuk disinformasi. Sifat
meme yang singkat membuat pembingkaian (framing)
suatu topik yang diusung sangat terbatas dan nyaris tanpa konteks. Padahal, untuk
memahami meme idealnya memerlukan pemahaman yang jelas tentang status meme
sebagai sebuah gurauan dan pengetahuan konteks yang sama dengan yang topik dimaksud
pembuat meme. Tanpa itu, meme akan menjadi sesuatu yang tidak menarik atau
justru lebih parah, diamini sebagai sebuah kebenaran.
Kasus ini
menjadi berbahaya ketika meme dibawa ke dalam konteks politik. Dalam situasi
ini, meme bukan lagi sekadar lelucon, melainkan alat propaganda. Si pembuat
sadar betul apa yang dia lakukan sehingga tak jarang, informasi yang ada
dipotong sedemikian rupa untuk mendukung argumen dan agendanya. Kita tentu
masih ingat bagaimana kegaduhan muncul dalam kasus penistaan agama yang menjerat
mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama. Dalam kasus itu berbagai
meme yang memasang wajah Ahok dengan sepenggal kalimat yang dianggap sensitif
berkeliaran dan menyulut amarah banyak orang.
Kasus serupa
juga terjadi ketika mobil Ratna Sarumpaet ditahan Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Meme yang beredar adalah Ratna meminta Anies Baswedan, Gubernur DKI yang
didukungnya pada Pilgub 2017 membebaskan kendaraannya. Padahal sebenarnya Ratna
tak pernah menghubungi Anies. Yang dihubunginya adalah seorang staf Anies.
Hal yang sama
dan sampai sekarang masih beredar adalah isu masuknya tenaga asing asal
Tiongkok dan utang RI yang terlalu besar. Dengan sadar pembuat meme membingkai
topik sedemikian rupa agar memantik emosi khalayak targetnya, bila perlu dengan
sedikit tambahan komentar yang membuat topik yang ada tampak lebih parah dari
kenyataannya. Strategi itu agaknya berhasil karena sampai sekarang kita masih
bisa melihat meme-meme itu berseliweran. Efek samping disinformasi ini pun
berimplikasi besar, mulai dari menjatuhkan citra dan nama tokoh politik sampai
menciptakan kegaduhan di masyarakat atas isu yang sebenarnya sudah dipelintir
sedemikian rupa.
Lalu harus
bagaimana? Suka tidak suka beredarnya meme semacam itu harus disyukuri karena
keberadaannya merupakan buah dari demokrasi dan kebebasan berpendapat. Karakter
asli meme yang merupakan lelucon membuat meme dengan disinformasi pesan tak
bisa begitu saja dimasukkan dalam penyebaran berita hoaks karena bukanlah
sebuah berita, melainkan bentuk opini. Oleh karena itu penegakan hukum jelas
bukan solusi yang bagus karena justru berpotensi mematikan kebebasan
berpendapat dengan pasal-pasalnya yang multitafsir. Solusi paling masuk akal
adalah menanamkan pemahaman seputar politik media digital agar warganet dewasa
dalam berpikir dan menyadari bahwa meme politik tak selugu kelucuannya. Sebuah
langkah yang membutuhkan partisipasi banyak pihak.