Blunder pembelaan terhadap Ratna Sarumpaet yang terjadi pada pasangan calon nomor 2, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno membuat berbagai teori muncul ke permukaan. Salah satu yang menarik adalah teori teknik propaganda Firehose of Falsehood yang digunakan Donald Trump untuk mengalahkan rivalnya pada Pemilu AS 2016, Hillary Clinton sebagai strategi yang tengah dibangun oleh kubu oposisi. Pertanyaannya, realistis kah teknik propaganda itu diterapkan di Indonesia?

Untuk menjawabnya, kita harus memetakan berbagai faktor yang membuat Trump yang kala itu menjadi kuda hitam sukses duduk di kursi kepresidenan. Setidaknya ada dua faktor penting yang membuat strategi ini justru berbahaya bagi kubu Pabowo jika mereka nekat menggunakan teknik propaganda yang kontroversial ini: faktor profil pasangan calon, dan sistem pemilu di Indonesia.

Salah satu hal yang membedakan kondisi dan situasi Pemilu AS saat itu dan Pemilu Presiden Indonesia 2019 nanti adalah soal lawan politik. Saat maju sebagai presiden, Trump tidak melawan petahana karena Obama sudah dua kali menjabat sebagai presiden dan sesuai aturan, tidak bisa mencalonkan lagi. Lawannya adalah Hillary Clinton, istri mantan presiden AS Bill Clinton.

Memahami kondisi ini penting karena strategi melawan petahana tentu berbeda dengan melawan calon yang belum memiliki rekam jejak duduk sebagai presiden. Saat melawan petahana, oposisi, apalagi yang belum pernah duduk sebagai kepala pemerintahan seperti Prabowo, hanya bisa menawarkan konsep yang akan dilakukan. Sementara petahana berada di atas angin dapat memaparkan sederet keberhasilannya yang secara empiris sudah terbukti sebagai materi kampanye.

Kondisinya mungkin sedikit berbeda seandainya Prabowo pernah menjadi pemimpin pemerintahan di level provinsi atau kota. Setidaknya dia memiliki wacana yang didasarkan atas bukti konkret yang sudah dilakukannya. Dengan kata lain, Prabowo tidak sedang bersaing apple to apple dengan Jokowi pada kontestasi Pemilu 2019 karena di atas kertas, posisinya serba sulit. Itu pula alasan kubu timses nomor 2 sejauh ini lebih banyak berupaya menjatuhkan citra Jokowi dan kroninya ketimbang bermain wacana substantif. Prinsipnya, jika sulit mendongkrak elektabilitas sendiri, setidaknya gerogoti elektabilitas lawan dan cegah suara mengambang lari ke pihak seberang.

Memainkan teknik Firehose of Falsehood rasanya malah berisiko tinggi karena teknik propaganda ini mengandalkan kebimbangan para calon pemilih. Latar belakang paslon juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan strategi propaganda ini. Cambridge Analytica yang menjadi motor di balik strategi pemenangan Trump memang mengincar warga konservatif agar mereka memilih Trump. Alasannya, karena Trump memiliki kualitas yang dibutuhkan oleh warga konservatif. Dia lelaki sesuai tradisi presiden di AS, berkulit putih, dan beragama Nasrani. Hillary memiliki handicap karena dia adalah calon presiden perempuan pertama di AS. Dari sini saja, posisi Trump sudah sedikit berada di atas Hillary terutama dalam upayanya meraih suara masyarakat berideologi konservatif.

Bandingkan dengan kasus Indonesia. Kedua calon mengusung dua laki-laki. Prabowo malah sebenarnya memiliki lebih banyak handicap ketimbang Jokowi. Dia lahir dari latar belakang keluarga nasrani dan memilih calon yang juga bukan dari golongan konservatif. Sebaliknya Jokowi malah menggandeng sosok pemuka agama yang sangat konservatif. Posisi ini saja sudah cukup membuat strategi ini semakin berbahaya karena Prabowo dan Jokowi sama-sama mengincar target pemilih yang serupa.

Multipartai dan dua partai

Faktor kedua yang membuat teknik ini sulit diterapkan di Indonesia adalah Sistem pemilu di AS jelas berbeda dengan di Indonesia. AS tidak menggunakan pendekatan suara terbanyak untuk bisa duduk sebagai presiden. Faktanya, Donald Trump dari sisi jumlah suara kalah atas Clinton. Toh dia tetap bisa menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam itu.

Jadi, mungkinkah menggunakan strategi ini di Indonesia? Mungkin berhasil, tapi tidak untuk Pilpres kali ini.