Kompas.com/Andreas Lukas Altobeli via Tribunnews.com

Kubu calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto memiliki rekam jejak tak terlalu baik dengan pers. Sebagai orang yang berada di lingkaran terdekat penguasa Orde Baru, Prabowo kerap kali dianggap berpotensi mewarisi sikap Soeharto yang otoriter dan represif terhadap pers.

Anggapan itu semakin kuat tatkala sebagian tokoh politik pendukungnya juga merupakan trah Soeharto. Meskipun sudah lebih dari satu dasawarsa berlalu, sejumlah praktisi jurnalistik masih menyimpan “dendam” masa lalu yang terjadi selama Orde Baru. Sementara lawan politiknya dalam Pilpres 2019 mendatang adalah Joko Widodo. Sosok yang sudah menjadi media darling sejak masih menjabat sebagai Walikota Solo 2005 silam.

Sejumlah pemilik media bahkan sudah mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi. Naif bila menganggap dukungan pemilik media ini tak akan berpengaruh terhadap dapur redaksi. Pemimpin Redaksi Metro TV Don Bosco Salamun dalam sebuah kesempatan bahkan secara gamblang menyebutkan sang owner, Surya Paloh sudah menginstruksikannya untuk membantu Jokowi.

Tak mengherankan bila Founder LSI Denny JA menyebut Prabowo memiliki kelemahan cukup fatal di bidang media dibandingkan Jokowi. Padahal pemberitaan melalui media massa menjadi salah satu alat yang efektif untuk melakukan kampanye pencitraan dan propaganda, terutama ketika suhu politik mulai memanas. Penguasaan media, berarti peluang menggalang suara dan kekuatan yang lebih baik.

Kondisi ini diperberat dengan keadaan Prabowo yang semakin terjepit. Sejumlah kalangan menilai Pemilu Presiden 2019 bisa jadi kesempatan terakhirnya untuk berebut kursi pemimpin negeri. Dengan kondisi serba kepepet itu, tak ada cara lain bagi Prabowo selain bertaruh habis-habisan untuk menyelamatkan dirinya dari pemberitaan yang tak menguntungkan dan mengancam perolehan suaranya.

Bertaruh Pada Industri
Strategi yang tersisa untuk mengamankan media bagi Prabowo adalah dengan memastikan pendukungnya tak menerima berita dari media massa selain yang akan mengeluarkan berita positif tentang dirinya. Komentar Prabowo yang dengan ketus menolak wawancara sejumlah media Rabu (5/6) lalu menjadi penegasan strategi ini. Sebagai politikus senior, penolakan Prabowo jelas bukan sekadar emosi sesaat atau terpeleset lidah. Pesannya jelas. Prabowo meminta pendukungnya untuk tidak menerima informasi dari media yang dia tolak. Prabowo bahkan menyebutkan TV One sebagai salah satu media yang dipercayainya.

Penolakan untuk menjawab pertanyaan dan diwawancara ini sekaligus memiliki pesan kepada pendukungnya bahwa Prabowo saat ini tengah dipepet pemberitaan media massa mainstream. Hanya ada sedikit yang dianggapnya masih bisa dipercaya. Selain itu berita yang muncul adalah berita pelintiran atau malah kabar burung.

Penolakan kubu Prabowo terhadap sejumlah media ini bukan pertama kalinya. November lalu Kubu Prabowo sudah menyerukan pemboikotan terhadap Metro TV karena dianggap selalu memelintir berita tentang dirinya. Jika ditarik lebih jauh lagi, Prabowo sudah lama tidak akur dengan sejumlah media, terutama yang dirasanya lebih sering mengeluarkan pemberitaan yang menyudutkan. 2014 silam misalnya, ketika untuk pertama kalinya dia berhadapan dengan Jokowi dalam kontestasi yang sama, Prabowo sudah menolak menjawab pertanyaan dari The Jakarta Post dan Kompas TV.

Dengan memberikan sinyal tegas media mana yang sebaiknya dirujuk para pendukungnya, Prabowo berupaya menghindarkan mereka dan para swing voters dari kemungkinan berpindah haluan karena pembingkaian media massa yang dianggap berpihak pada lawan politik. Jika kita cermati, selama ini TV One lah yang paling sering memuat berita positif tentang kubu Capres 02 ini. Sejumlah tokoh pendukungnya juga kerap mendapatkan panggung megah untuk menyampaikan komentar-komentarnya.

Situasi ini menjadi menarik lantaran ada Aburizal Bakrie di balik TV One. Aburizal merupakan kader Golkar, partai yang saat ini masuk dalam koalisi partai pendukung Jokowi. Selain itu, sebagian kecil saham juga dimiliki oleh Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi. Namun toh dengan afiliasi politik ini TV One tetap konsisten memberi ruang bagi oposisi. Dengan kata lain, apa yang terjadi saat ini pada TV One adalah media massa sebagai sebuah Industri.

Sebagai entitas bisnis, profit menjadi tujuan utama. Dalam industri media massa, pemasukan diperoleh melalui iklan. Pengiklan akan memasang iklan berdasarkan jumlah penonton suatu media massa. Indikator jumlah penonton ini kita kenal sebagai rating. Semakin tinggi rating suatu acara, semakin besar pula pemasukan yang diterima industri media.

Sebagai stasiun televisi yang condong ke kubu Prabowo sejak 2014 lalu, TV One sudah memiliki penonton loyal dari pihak oposisi. Menghilangkan keberpihakan pada oposisi berarti kehilangan loyalitas penonton sebagai konsumen. Dalam bisnis, loyalitas bukanlah hal yang bisa disepelekan. Khalayak loyal adalah energi utama dalam operasional media massa. Namun sebagai alat politik, bukan tidak mungkin jika suatu saat haluan pemberitaan media massa ini mengalami pergeseran seiring instruksi dari sang pemilik modal. Pergeseran ini bisa jadi terjadi secara drastis, atau dengan memasukkan pesan-pesan selipan di antara pemberitaannya untuk menjaga loyalitas pemirsanya. Jika hal itu terjadi, maka kubu Prabowo rasanya akan semakin terdesak untuk urusan media massa arus utama.

Tentu saja tak ada yang bisa menjamin asumsi ini akan terjadi atau tidak. Keputusan akhir akan ada pada keputusan para pemilik modal. Namun satu yang cukup jelas, Prabowo tengah mempertaruhkan karier politiknya pada industri media massa.