Belum lama ini santer tersiar kabar alumni sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta menjadi korban penyebaran video porno. Tanpa perlu waktu lama, bermunculan dugaan-dugaan nama pelaku. Beberapa bahkan langsung merujuk ke sebuah identitas yang gamblang, F dan HA inisialnya. Sebelum ada konfirmasi lebih lanjut, nama keduanya langsung populer di berbagai situs, mulai dari media sosial, blog sampai forum dan situs guyonan.

Seakan latah dengan tingginya tren pencarian isu ini, sejumlah media massa arus utama tanpa menggunakan asas praduga tak bersalah mulai berani menampilkan profil sosok yang belum jelas apakah benar-benar terlibat atau tidak tanpa ada upaya melindungi identitasnya. Padahal sampai saat tulisan ini disusun kepolisian masih belum bisa memastikan bahwa F dan HA adalah orang yang terlibat dalam video itu. Dugaan awalnya, mereka tak terbukti sebagai sosok yang ada di dalam video itu.

Pernyataan itu jelas telat. Identitas kedua korban, terutama si perempuan sudah kadung viral. Google bahkan mencatat pencarian dengan nama lengkap HA memuncaki tren pencarian selama tiga hari berturut-turut, pada 24-26 Oktober 2017. Pada hari terakhir, tercatat lebih dari satu juta pencarian dilakukan dengan kata kunci nama HA dalam sehari. Itu baru dari satu kata kunci, belum termasuk variasi kata kunci lainnya yang juga memuat nama lengkap HA yang kalau ditotal bisa jauh lebih banyak.

Jelas tak ada persetujuan dari si empunya identitas dalam penyebarluasan identitas pribadi ini. Secara sepihak, nama dan identitas pribadi mereka latar belakang pendidikan dan lingkungan pertemanan diumbar tanpa sensor. Bahkan tak ada ruang bagi mereka untuk membela diri. Isu ini sudah bergulir begitu liar, identitas pribadi mereka pun kini jadi konsumsi publik yang kepo.

Fenomena penyebarluasan identitas pribadi dengan tujuan mempermalukan dan menghukum seperti kasus di atas bukan pertama kalinya di Indonesia. Sudah berkali-kali kasus serupa terjadi, biasanya berkaitan dengan tingkah laku seseorang yang dinilai melanggar norma dan menjadi viral di dunia maya. Beberapa yang populer seperti penyebaran identitas seorang pegawai Mahkamah Agung yang mencakar polisi atau video istri pejabat yang menampar petugas keamanan bandara beberapa waktu lalu. Tindakan penyebarluasan identitas ini pun memiliki sebutan khusus, doxing.

Doxing atau terkadang ditulis doxxing merupakan akronim dari document tracing atau penelusuran dokumen melalui Internet. Istilah berkonotasi negatif yang belum lama dikenal ini belum memiliki definisi resmi, namun beberapa kalangan menyepakati maknanya sebagai upaya menyebarluaskan informasi personal tanpa izin melalui dunia maya. David Douglas dalam jurnal Ethics and Information Technology menyebutkan tujuan tindakan ini tak lepas dari internet shaming, upaya mempermalukan, mengancam, sampai menghukum si pemilik identitas di Internet. Alasannya beragam, mulai dari menghukum si pelanggar, menghancurkan kredibilitas sasaran, sampai dendam pribadi.

Tentu saja doxing sudah melanggar privasi seseorang. Apalagi dalam konteks Internet, di mana informasi yang sudah diunggah tak mungkin lagi dihapuskan sepenuhnya, efek doxing akan sangat besar. Sekali data tersebar, maka hampir mustahil menghapusnya 100%. Selama ada pencarian maka data yang sudah tersebar akan bisa diakses kapan saja, di mana saja. Celakanya, setiap orang berpotensi menjadi korban doxing. Lantas bagaimana agar kita tak jadi korban berikutnya?

Sebenarnya di Indonesia sudah ada pasal-pasal dalam perundang-undangan yang melindungi privasi seseorang, misalnya dalam Pasal 54 UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pasal ini mengancam siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan untuk konsumsi publik dengan ancaman pidana. Selain itu, Pasal 26 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga mensyaratkan penggunaan data pribadi wajib sepersetujuan pemilik data bersangkutan. Lebih lanjut pasal ini menyebutkan barangsiapa dilanggar haknya maka berhak mengajukan gugatan.

Yang jadi masalah, seluruh pasal itu hanya mengatur untuk data pribadi yang ada di ruang privat atau dirahasiakan. Di sinilah kadang pengguna Internet, utamanya media sosial lena. Mereka menilai media sosial sebagai sebuah ruang pribadi. Padahal, kalau dilihat dari fungsinya, media sosial merupakan sebuah ruang publik. Ruang publik adalah ruang di mana setiap orang bebas berpartisipasi untuk berdiskusi mengenai berbagai topik yang menjadi kesamaan minat dengan orang lain. Sosiolog Jerman yang memperkenalkan istilah ruang publik, Jurgen Habermas mencatatkan, konsep ini tak harus berlaku pada dunia nyata, namun juga di ruang virtual. Ruang virtual seperti Internet dan medsos pun bisa dianggap sebagai ruang publik ketika setiap orang bisa mengakses informasi yang tersedia.

Dalam konteks medsos, akun yang kita buat memang akun pribadi, namun pesan yang muncul akan menjadi milik publik. Artinya data apapun yang kita cantumkan di sana, selama statusnya dibuka untuk umum, maka secara tak langsung kita sudah secara sadar menyetujui untuk berbagi informasi tersebut kepada masyarakat luas. Kalau sudah begini, pelaku doxing yang datanya didapatkan dari media sosial atau laman lain di Internet yang sifatnya bebas diakses sudah lepas dari jerat hukum yang ada.

Harus dipahami, era digital membuat privasi mahal harganya. Kalaupun bukan kita yang merilis data pribadi, terkadang ada saja instansi yang masih belum sadar pentingnya data pribadi dan merilis daftar identitas di laman mereka dengan alasan keterbukaan informasi. Kalau sudah begini, tak ada cara lain menanggulangi doxing selain sadar diri. Setidaknya kita bisa memulai membatasi membagi informasi pribadi di Internet atau mengatur pengaturan privasi agar beberapa data pribadi tak ditampilkan. Memang tak menjamin kita akan sepenuhnya bebas dari ancaman doxing, namun lebih baik ketimbang tak melakukan upaya pencegahan apapun.

Gilang Jiwana Adikara
(Pertama kali dipublikasikan di Tablod Ekspedisi Edisi IV 2017)