Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Detikcom. Arsip digital dapat diakses melalui tautan berikut https://news.detik.com/kolom/d-4312485/lubang-hitam-media-digital
https://infocus.dellemc.com/bigdata-2/
Ketika internet pertama kali dikenal masyarakat, berbagai harapan disematkan. Salah satunya adalah merayakan media pendobrak batas wilayah ini sebagai wadah bertemunya beragam pandangan dan ideologi. Internet pun digadang-gadang sebagai media yang dapat menebalkan toleransi antarmanusia. Namun, kenyataan memang tak seindah harapan.
Survei yang dirilis Maarif Institute 2017 lalu menunjukkan 57% anak muda mengakui pesan intoleran mempengaruhi sikap mereka terhadap kelompok yang berbeda. Angka ini semakin mengkhawatirkan jika menilik data kasus ujaran kebencian yang ditangani kepolisian selama 2017. Pada tahun itu, polisi telah menangani 3.325 kasus ujaran kebencian. Motifnya beragam, mulai dari pencemaran nama baik sampai perbuatan tidak menyenangkan.
Persebaran ujaran kebencian itu mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Memanasnya isu politik DKI Jakarta menjadi salah satu penyebabnya. Tahun ini, diperkirakan jumlahnya meningkat seiring semakin dekatnya pesta demokrasi akbar lima tahunan di Indonesia.
Mempertajam Intoleransi
Bagaimana keberadaan internet berubah dari harapan untuk meningkatkan toleransi menjadi ancaman terhadap toleransi? Setidaknya ada dua hal yang menjadi faktor utama. Yakni, faktor algoritma yang jamak berlaku dalam sistem pencarian dan saran di internet dan perilaku pengguna internet.
Algoritma mesin pencari dan media sosial di internet dirancang untuk menawarkan tautan-tautan yang sesuai dengan minat pengguna berdasarkan riwayat penelusuran. Ambil contoh ketika kita menggunakan Instagram. Saat kita memberikan tanda hati kepada posting tentang makanan, media sosial ini kemudian akan memasukkan makanan ke dalam daftar minat dan mulai memunculkan saran konten tentang makanan.

Semakin sering kita menyukai dan mengikuti konten bertema makanan, tanpa disadari seluruh saran yang muncul juga akan berkaitan dengan topik tersebut. Sekarang bayangkan jika yang kita sukai adalah konten bernada hate speechatau hoaks.
Tentu saja ketika algoritma ini dirancang, ada niat baik yang menyertai. Di satu sisi sistem algoritma semacam ini memudahkan pengguna untuk menemukan konten yang menjadi perhatian. Sistem ini juga bermanfaat bagi industri karena mereka akan lebih mudah menyapa calon konsumen potensial. Namun, di sisi lain sistem tersebut menyimpan bahaya tatkala penggunanya kelewat naif. Bisa jadi tanpa sadar mereka akan semakin terjerumus ke dalam pandangan-pandangan radikal.
Selain algoritma, ancaman lebih besar justru muncul dari faktor kedua, yakni perilaku bermedia digital yang serampangan, terutama melalui media sosial. Harus disadari, keberadaan internet dan media sosial telah merevolusi cara kita berkomunikasi. Sebelum era internet, kemampuan untuk berkomunikasi secara massal hanya bisa dinikmati para pemodal besar. Melalui teknologi canggih dan mahal, mereka menyampaikan informasi melalui media cetak dan elektronik.

Semakin mudahnya internet diakses, kemudian membuka peluang bagi setiap individu untuk berkomunikasi secara massal, sebuah hak istimewa yang sebelumnya tak kita miliki. Bermodal perangkat genggam dan koneksi ke dunia maya, kita sudah bisa menyapa masyarakat dunia. Tentu ada potensi besar di balik privilege ini. Namun, di balik potensi besar terdapat pula bahaya yang mengincar. Ketika setiap orang bisa berteriak, kejelasan pesan semakin kabur. 
Kita tak lagi bisa dengan jelas membedakan mana komentar bermutu, mana yang hanya omong kosong. Maka jangan heran ketika kabar bohong dan ujaran kebencian semakin menyebar nyaris tanpa kontrol. Jika tak percaya, coba tengok linimasa media sosial Anda. Saya yakin tak butuh waktu lama untuk menggulirkan layar kita untuk bisa menemui kalimat-kalimat bernada "nyinyir" penuh rasa benci yang tak beralasan.
Begitu seringnya narasi kebencian muncul, tanpa disadari kita menjadi kebal dan memilih untuk tak peduli. Alasannya beragam, mulai dari malas menanggapi hingga malas jika komentar kita justru memicu debat kusir di kolom komentar yang tak berfaedah. Salah-salah hubungan pertemanan retak, bahkan bisa berujung pada putusnya silaturahmi di dunia nyata.
Langkah menghindari konflik sebenarnya tak salah. Adalah hal yang wajar ketika seorang individu menghindari pertikaian, apalagi di lingkaran pertemanan. Celakanya, perilaku semacam ini bukannya mencerdaskan, namun berpotensi menjerumuskan sang pengujar kebencian untuk semakin membenci. Apalagi ketika komentar dari pengguna lain yang menyetujui kebencian yang dilontarkan dan memberikan reaksi menyukai komentar itu.

Tanpa adanya diskusi yang sehat dan terarah, perilaku ini akan membuat sang pembuat narasi mabuk pengakuan dan mengulangi kembali ujaran kebenciannya di status yang lain. Dia mulai merasa sebagai pahlawan ketika pendapatnya menjadi rujukan bagi orang lain.
Keluar dari permasalahan ini adalah hal yang pelik. Mereka yang waras akan mengalami dilema. Mengkritik akan dianggap musuh, mendiamkan berarti membiarkan kebencian semakin runcing. Ujung-ujungnya, mereka yang membenci akan semakin kehilangan akal sehat untuk dapat menerima pendapat yang berbeda.
Solusi yang paling memungkinkan untuk menghentikan ini sebenarnya kembali pada masing-masing pengguna internet. Sudah saatnya kita bersama mengintrospeksi diri, sudahkah kita bermedia sosial dengan bijak? Atau, jangan-jangan selama ini kita hanya memanfaatkannya untuk memuaskan syahwat untuk menjadi "pemimpin opini" semu.
Yang jelas, sifat internet yang bebas dan terbuka menuntut penggunanya untuk cerdas ketika memanfaatkan media digital ini. Tak mampu memahami konsep ini berarti selamanya kita akan semakin terpuruk dalam lubang hitam media digital. Jika hal itu terus terjadi, maka upaya menciptakan dunia lebih baik dengan saling menoleransi perbedaan hanya menjadi impian usang. Semoga saja tidak terjadi.