Tulisan ini sudah dimuat di Detikcom dengan tautan berikut https://news.detik.com/kolom/d-4485370/menggagas-literasi-digital-melalui-pendakwah

Illustration/Martin Wimmer, iStock


Terlibatnya sejumlah pemuka agama dalam penyebaran informasi yang salah patut disayangkan. Namun di sisi lain ada hikmah dari peristiwa ini, yaitu peluang untuk menyebarkan semangat melakukan cek fakta dan bijak dalam bermedia digital. Semangat yang rasanya tepat bila dimotori oleh para pemuka agama.

Wakil Sekretaris Jenderal MUI Tengku Zulkarnain beberapa waktu lalu berceramah mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang ditudingnya pro zina. Belakangan Tengku Zulkarnain mengakui kekeliruannya lantaran terburu-buru mengeluarkan pernyataan tanpa mengecek sumber aslinya dan menyatakan tidak ada pasal yang dituduhkannya di RUU tersebut.

Tentu saja sikap ini patut diapresiasi. Mengakui kesalahan adalah hal yang sulit. Namun ceramah ini sudah keburu menyebar dan menyeret korban lain, seorang ustaz di Banyuwangi yang menyebarkan informasi salah itu. Bukan tidak mungkin di luar sana masih banyak orang yang mengamini pernyataan lama Tengku Zulkarnain. Situasi yang jika dibiarkan akan menjadi bumerang bagi kehidupan sosial di Indonesia.
Faktanya, hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) awal tahun lalu menyatakan daerah dengan afiliasi islam politik sangat tinggi merupakan daerah yang paling mudah termakan hoaks membunyikan sinyal bahaya. Kondisi ini akan semakin pelik seiring semakin gencarnya laju informasi di Indonesia. 

Saat ini internet sudah memenetrasi 143,26 juta jiwa atau sekitar 54,7% populasi penduduk negeri ini. Indonesia kini menempati peringkat lima dunia negara dengan jumlah pengakses internet tertinggi. Namun tingginya jumlah pengguna internet ini belum dibarengi dengan kemampuan literasi digital yang baik. 

CIGI-Ipsos pada 2016 merilis temuan menarik dalam survei mereka. Mereka menyebutkan 15% masyarakat Indonesia percaya mentah-mentah informasi di internet dan 50% masyarakat merasa informasi di internet adalah benar. Sedangkan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada 2017 menyebutkan media sosial merupakan sumber utama peredaran hoaks. Banyaknya hoaks beredar setiap kali ada suatu peristiwa besar dan masih seringnya kabar bohong muncul di layar ponsel melalui perpesanan instan bisa menjadi salah satu indikasi kebenaran hasil survei ini. Dengan kata lain, Indonesia darurat literasi digital.

Sporadis
Literasi digital merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan kemampuan seseorang dalam menyikapi konten di dunia digital. Berbeda dengan media konvensional, media digital memerlukan keterampilan lebih untuk bisa memaksimalkan potensinya. Terlebih melalui media ini khalayak tak hanya mampu mendapatkan informasi, melainkan juga memproduksi informasi dan mendistribusikannya secara bebas. 

Sejumlah kalangan bukannya diam saja atas kondisi ini. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Hanya saja, Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) pada 2017 mencatat upaya peningkatan literasi digital masyarakat masih sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik. Kebanyakan upaya menyadarkan masyarakat mengenai potensi dan bahaya media digital sejauh ini baru dilakukan oleh kalangan akademis dan baru menarget pada generasi muda. Padahal untuk bisa memperoleh hasil yang lebih menyeluruh diperlukan pula kontribusi dari berbagai pihak dan menyasar pihak yang jauh lebih luas.

Pendekatan Agama

Beruntung, ada titik terang untuk menuntaskan masalah ini, yaitu melalui pendekatan agama. Faktanya, faktor agama masih menjadi elemen dalam kehidupan yang dianggap terpenting di Indonesia. Survei Varkey Foundation pada 2017 menunjukkan 97% generasi Z yang berusia 18-21 tahun di Indonesia menjadikan agama sebagai salah satu faktor penting dalam kebahagiaan. 

Jika melihat tren tingginya minat beragama masyarakat Indonesia, maka sosok yang tepat dalam menyebarkan semangat literasi digital untuk memahami potensi dan bahaya serta cara menangkalnya, adalah para pendakwah. Melalui mereka serangkaian kompetensi dasar untuk mengonsumsi dan memproduksi konten di dunia maya akan lebih mudah disampaikan kepada masyarakat. Efeknya lanjutannya, berpotensi mempercepat pendewasaan warganet dalam mengakses konten digital.

Pendakwah pun tak sekadar menjadi guru spiritual, melainkan juga menjadi pemimpin opini (opinion leader) di dalam komunitas keagamaannya. Merekalah yang memperoleh informasi, mengolahnya, lalu mengemasnya dalam bentuk dakwah untuk diterima masyarakat. Dalam lingkungan sosial Indonesia, keberadaan pendakwah sudah menjadi elemen yang penting dan kerap kali dianggap sebagai tokoh masyarakat. 

Status sebagai pemimpin opini ini rupanya bukan hanya untuk urusan keagamaan, pernyataan pendakwah dalam urusan politik bahkan menjadi pendapat yang paling dipertimbangkan. Lingkaran Survei Indonesia belum lama ini merilis hasil survei mereka yang menyatakan 51,7% pemilih mendengarkan imbauan dari para pemuka agama, seperti ulama, pastor, dan biksu. Bandingkan dengan politisi yang hanya menapai 11% atau pengamat politik yang tak signifikan, hanya 4,5%.

Temuan ini menarik dan berpotensi menjadi sebuah peluang emas untuk menyebarkan semangat literasi digital di Indonesia. Angka itu berarti pendapat para pemuka agama sangat dipercaya dan tak ada yang lebih baik dalam menyebarkan suatu propaganda baik selain melalui sosok-sosok pemimpin opini ini.

Momentum tingginya kepercayaan masyarakat kepada pemuka agama dan pendakwah rasanya tak boleh lagi disia-siakan. Sudah saatnya seluruh institusi, lembaga, dan organisasi keagamaan di Indonesia bergerak bersama untuk memulai langkah meliterasi digital para pendakwah. 

Tak harus melalui seminar-seminar mentereng, upaya menyebarkan semangat ini rasanya juga bisa disampaikan sebagai selingan di antara kajian dan forum rutin keagamaan. Minimal menyebarkan anjuran untuk lebih berhati-hati dan melakukan cek fakta saat menerima kabar dan memberikan tata cara memilah kabar di tengah banjir informasi yang kerap kali menyesatkan. Syukur bila materinya bisa lebih mendalam, tentang bagaimana berpartisipasi menyebarkan semangat optimisme dan kebaikan dalam berdakwah di media digital, misalnya.

Jika langkah ini dapat terkoordinasi dengan baik dan para pendakwah dapat memberikan contoh sikap kritis dalam bermedia digital, bukan tidak mungkin rumah ibadah akan menjadi awal gerakan pendewasaan masyarakat digital yang lebih luas. Toh dalam ajaran agama manapun anjuran untuk tidak menyebarkan kebohongan dan senantiasa mengujarkan kebaikan akan selalu ada.