Esai ini sudah dipublikasikan di Detikcom pada 28 Agustus 2018. Arsip digital dapat diakses di tautan berikut ini https://news.detik.com/kolom/d-4185833/politik-busana-prabowo-dan-pemilih-milenial
Dery Ridwansah/JawaPos.com

Sandiaga Uno blak-blakan soal rencana me-rebranding Prabowo menjadi The New Prabowo. Salah satunya dengan mengubah gaya berpakaian sang calon presiden dari Partai Gerindra itu. Tujuannya adalah menggaet hati para milenial.

Konsep The New Prabowo menurut Sandiaga adalah Prabowo Subianto yang tampil lebih "milenial". Salah satu program rebranding-nya dengan membenahi cara berpakaian Prabowo yang sudah identik dengan kemeja safari berwarna putih dengan empat kantong menjadi lebih luwes sesuai target khalayak mereka.

Jika dilihat dari sisi identitas brand, sosok Prabowo dan kemeja safarinya sudah sangat ikonik. Sulit menggambarkan Prabowo tanpa kemeja safari. Bahkan mungkin ketika kita melihat kemeja safari berwarna putih, kita akan langsung terbayang sosok Prabowo. Preferensi gaya berpakaian capres Gerindra ini jelas tidak sembarangan. Ada alasan kuat di balik kemeja safarinya.
Ditilik dari sejarah, kemeja safari yang biasa dikenakan Prabowo termasuk saat mencalonkan diri sebagai Capres 2014 lalu merupakan gaya peninggalan militer Inggris yang bertugas di daerah tropis pada medio abad ke-19. Ciri khasnya adalah empat kantong di bagian depan dan epaulet, elemen dekoratif pakaian di bahu yang menjadi tempat penyematan tanda pangkat. 

Gaya safari ini kemudian lekat dengan sejumlah tokoh bangsa. Sukarno mungkin merupakan tokoh yang cukup identik dengan kemeja safari sebelum Prabowo rutin mengenakannya. Gaya ini kemudian diadopsi menjadi gaya andalan Prabowo saat tampil di hadapan publik sampai saat ini. Warna putih bersih menjadi pilihan sehingga mencitrakan sosok yang bersih dan tegas tanpa melupakan latar belakang Prabowo yang pernah berkarier di dunia militer, ditambah nuansa busana yang sedikit mengingatkan pada sosok Sukarno yang diakui sebagai salah satu pendiri bangsa.

Masalahnya, kemeja ini bagi beberapa kalangan terlalu bernuansa militeristik dan kaku, apalagi bagi pemilih generasi milenial yang tak lagi lahir di tengah agresi militer. Generasi ini lahir dalam suasana damai sehingga pendekatan militeristik berada di luar benak mereka. Gaya berpakaian dengan kemeja safari juga terasa elitis karena sang pemakai biasanya berasal dari kalangan pejabat. 

Tak heran, Didit Prabowo, putra semata wayang Prabowo yang juga seorang perancang busana --seperti diungkap Sandiaga-- ikut gemas melihat penampilan sang ayah yang begitu-begitu saja. Kurang milenial, katanya. Bandingkan dengan gaya rivalnya, Joko Widodo yang lebih luwes berpenampilan dalam berbagai kesempatan. Kadang formal, kadang tampil sporty, atau malah bak bintang rok dengan jaket denim. Strategi berganti-ganti gaya ini nyatanya sukses membuat penampilannya berkali-kali jadi perbincangan.

Mengapa Mengincar Milenial?
Alasannya rasanya sudah cukup jelas. Porsi pemilih milenial merupakan porsi terbesar untuk Pemilu 2019. Poltracking Indonesia mencatat, pada Pemilu 2019 setidaknya terdapat 40% pemilih berusia 17-35 tahun. Secara konseptual, rentang usia ini sebenarnya mencangkup Generasi Y (milenial) yang lahir pada periode (1980-1994) dan Generasi Z yang lahir setelah 1994. Namun, belakangan istilah milenial di Indonesia digunakan untuk menyebut "generasi muda". Potensi partisipasi pemilih milenial ini diperkirakan sekitar 76%-77%, cukup besar bila dibandingkan dengan rentang usia yang lain.

Pemilih milenial juga menjadi incaran karena mereka saat ini tak hanya menjadi konsumen informasi. Pemilih milenial adalah mereka yang cukup aktif berinternet, tempat diskursus politik menyebar nyaris tanpa kontrol. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2017 mencatat, rentang usia 19-35 tahun menyentuh 49,52% pengguna Internet di Indonesia. Artinya, para pemilih milenial ini akan berkontribusi besar dalam persebaran wacana seputar dunia politk. Memenangkan hati pemilih milenial berarti memenangkan "perang" wacana di media massa karena pusaran informasi akan berada di tangan mereka. Untuk memenangkan hati mereka, maka pencitraan yang taktis mesti dipilih. 

Pada kasus Prabowo, citra Prabowo yang tegas sudah cukup tergambar melalui karier militer yang pernah dijalaninya. Melakukan rebranding ringan dengan menanggalkan kemeja safari rasanya tak akan menghilangkan citra tegas ini selama kostum yang dipilih tak kelewat nyentrik. Toh untuk urusan itu sudah ada Sandiaga yang jauh lebih stylish dan pas dengan target pemilih milenial. Tugas tim sukses Prabowo dan Sandiaga saat ini adalah mempersiapkan gaya busana yang akan mereka kenakan selama masa kampanye agar kesan kaku dan militeristik yang melekat pada sosok Prabowo sedikit tereduksi, dan muncul sosok yang keren dan mampu mengayomi rakyatnya dengan ramah. 

Tak substantif, memang. Tetapi, faktanya pemilihan pemimpin di negeri ini memang belum didasarkan pada data program kerja, lebih banyak menimbang aspek ketokohan. Yang jelas, mendiskusikan soal pilihan fesyen para calon pemimpin negeri tiap kali mereka tampil di muka publik akan jauh lebih adem dan mengasyikkan ketimbang ribut soal SARA.