Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terkesan terburu-buru dalam menerapkan aturan baru Penerimaan Peserta Didik Baru dengan sistem zonasi. Alasan agar ada keadilan sosial bagi para peserta didik justru terasa janggal jika diamati dari implementasi kebijakan ini.

Kemdikbud beralasan zonasi dilakukan untuk memaksa sekolah memprioritaskan calon peserta didik yang secara adminstrasi tinggal di dekat sekolah tersebut. Di satu sisi kebijakan ini terasa adil karena mereka yang dekat dengan sekolah bisa berpeluang mengenyam pendidikan di sekolah dengan dekat dengan rumah. Namun yang tampaknya tak disampaikan adalah kenyataan bahwa sekolah favorit di setiap kota kebanyakan berada di lingkungan strategis dengan lingkungan sosial yang tinggi. Artinya mereka yang tinggal di pinggiran, baik karena alasan ekonomi maupun alasan lainnya, justru berpotensi semakin termarjinalkan berkat kebijakan zonasi.

Jika dirunut, problem zonasi ini berawal dari sikap pemerintah yang seakan-akan memandang label sekolah favorit sebagai sebuah stigma atau citra semata. Dalam kajian komunikasi, citra tak bisa dibangun tanpa ada dasar yang kuat. Dasarnya tentu saja berupa performa yang terjadi secara faktual. Dengan kata lain, citra sekolah favorit bukan sekadar “gaya-gayaan” karena faktanya, sekolah yang dicap favorit memang memiliki fasilitas yang lebih, baik dari sisi pengajar, maupun fasilitas penunjang kegiatan belajar yang lain.

Jika diamati lebih dalam, indikasi sekolah favorit tak berhenti sampai di persoalan fasilitas saja. Ada faktor budaya akademik yang sudah terbangun dengan baik sehingga kultur pendidikannya dianggap mampu menunjang proses pembelajaran. Ditambah lagi potensi relasi alumni yang lebih baik yang dapat menunjang pengembangan peserta didik.

Asumsinya, anak yang berada di lingkungan belajar yang ideal karena kultur akademik yang baik, ditunjang dengan fasilitas pendidikan yang memadai, dan berada di lingkungan yang juga kondusif untuk belajar akan memiliki peluang untuk mengembangkan diri mereka dengan lebih optimal dan akan menghasilkan output yang lebih baik.

Tentu saja sekolah di tempat dengan fasilitas seadanya tidak menutup kemungkinan anak untuk menjadi sukses, namun harus dicatat bahwa kita mengenal tripusat pendidikan yang berkontribusi atas kualitas pendidikan secara menyeluruh. Selain orang tua, ada faktor sekolah dan masyarakat yang ada di sana. Artinya sekolah yang baik ditunjang dengan masyarakat baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga yang baik memiliki peran yang vital. Dengan situasi semacam ini, orang tua mana yang tak ingin anaknya belajar di tempat dengan fasilitas terbaik?

Salah Sasaran
Yang cukup mengejutkan, niat baik untuk menciptakan keadilan sosial dan memeratakan sebaran peserta didik ini malah dilakukan dengan membatasi akses pendidikan calon peserta didik. Pemerintah mengeluarkan aturan zonasi dengan asumsi kebijakan ini dapat menghilangkan stigma sekolah favorit. Lagi-lagi, langkah ini rasanya kurang tepat dalam banyak hal.

Dari sisi sekolah, sekolah yang disebut favorit selama ini justru menjadi rujukan bagi sekolah lain yang ingin berkembang. Keberadaannya menjadi role model karena sudah mampu memberikan lingkungan pendidikan yang memadai, tak hanya dari sisi akademik, namun juga prestasi nonakademik. Terkait persoalan adanya eksklusifitas sosial, hal itu memang tidak bisa dipungkiri terjadi. Namun apakah dengan zonasi eksklusifitas itu akan hilang? Kenyataan bahwa ada orang tua yang rela menitipkan anaknya ke keluarga lain agar dalam Kartu Keluarga yang tercatat berada di zona sekolah favorit rasanya menjadi bukti bahwa esklusifitas akan selalu ada, terlebih citra favorit itu sudah melekat selama bertahun-tahun.

Sementara dari sisi calon peserta didik, membatasi kesempatan anak yang ingin sekolah di tempat dengan fasilitas terbaik malah terasa ganjil. Bagaimana mungkin keinginan untuk belajar di tempat terbaik malah dibatasi berdasarkan tempat tinggal yang tercatat di administrasi kependudukan. Selain tak adil, langkah ini rasanya justru tidak menuntaskan masalah eksklusifitas karena peserta didik di suatu sekolah malah semakin eksklusif karena berasal dari lingkungan sosial yang sama.

Jika memang niatnya mengubah tradisi dan merevolusi pendidikan di dalam negeri, maka sasaran pertama kebijakan ini rasanya justru harus terjadi dari fasilitas pendidikannya. Pemerintah semestinya tidak menghilangkan sekolah favorit, melainkan menciptakan sekolah favorit baru di berbagai kecamatan atau bahkan kelurahan. Berikan sekolah dengan akreditasi terbaik di setiap kecamatan dengan berbagai bantuan untuk mengembangkan fasilitas pendukung pembelajaran. Distribusikan guru-guru terbaik di setiap calon sekolah favorit dan buka peluang bagi para pendidik di sekolah ini dengan fasilitas pengembangan diri yang baik. Langkah ini tak bisa instan karena membangun budaya akademik yang baik bukan seperti membalik telapak tangan. Namun membangun sekolah favorit baru justru memiliki peluang lebih baik untuk jangka panjang karena akan ada peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh.

Jika sederhanakan, daripada memangkas dahan dengan buah yang baik, kenapa tak memperbaiki saja dahan yang belum menghasilkan buah berkualitas nomor satu? Dengan langkah ini, tujuan keadilan sosial rasanya lebih mungkin tercapai. Bagaimanapun keadilan semestinya dimaknai sebagai membuka peluang yang sama bagi setiap peserta untuk berkompetisi, bukan membatasi kesempatan pesertanya sebelum memulai kompetisi.