Nulis part-1 nya kapan lanjutnya kapan :v 
yaweslah, mari lanjut

Harga tanah di Jogja itu edan! nyari tanah di kota untuk harga di bawah sejuta itu nyaris mustahil. Ada sih, tapi kalau enggak di kawasan padat dengan akses terbatas, motor aja harus gantian lewat, ya dengan luas tanah super sempit dan nyempil. PIlihan akhirnya di lingkar luar Jogja, seperti di Bantul atau Sleman. Itu pun kalau nyari yang radius 2 km dari ringroad harganya masih ngeri. 

Harga di bawah sejuta baru bisa didapatkan di kawasan yang cukup nyempil, seperti di daerah Pajangan Bantul, atau di perbatasan Kulonprogo. Arah ke barat relatif lebih murah, sementara arah ke Timur cukup tinggi, mungkin karena berada di jalur strategis menuju ke Solo yang enggak pernah sepi. Pagu anggaran kami maksimal 170 juta bersih dan berharap dapat tanah di atas 100m2. PErtimbangannya, tanah seluas itu masih bisa cukup lapang untuk ditinggali dan masih ada sisa ruang untuk ruang hijau.

Sebelum membeli tanah, kami sudah sepakat untuk membeli rumah di sisi timur Jogja. Walaupun lebih tinggi dari sisi Barat, tapi area ini lebih strategis. Alasannya pertama, mempertimbangkan rumah orang tua ada di Semarang dan Ambarawa. Mudik dari sisi timur memangkas banyak waktu karena kami bisa lebih cepat menuju Klaten. Keluarga besar juga ada di kawasan Solo-Wonogiri, jadi berada di sisi Timur akan lebih nyaman. 

Alasan kedua, menghindari berangkat silau pulang silau. Ini serius, kantor kami di pusat kota Jogja. Istri di Janti, saya di Colombo. Kalau punya rumah di sisi barat, artinya kami berangkat dengan menghadap matahari dan pulang menghadap matahari senja. Capek bos! Belum lagi karena pengaruh harga dan tata kota, sisi barat lebih padat penduduk, maka jalurnya lebih macet dan bikin stres. Mending agak mahal tapi nyaman kan?

Bersahabat dengan Makelar, Berdamai dengan Alam

Dengan pertimbangan lokasi dan harga, maka kami mengincar tanah di tiga kecamatan di Bantul:  Banguntapan, Pleret, dan Piyungan; dan tiga kecamatan di Sleman: Berbah, Kalasan, Prambanan. Kawasan Depok Sleman kami skip karena sebagian besar wilayahnya masuk area dalam Ringroad dan sudah jadi incaran pengembang apartemen. Artinya harga tanah sudah kena mark-up para tengkulak.

Setelah lokasi ini fix, perburuan tanah kami mulai, dan ternyata enggak mudah. Saya sudah lupa berapa tanah yang sudah saya lihat. Sebagian informasi saya dapatkan di OLX dan ketemu makelar. Yang lain kebetulan saya dikenalkan dengan makelar tanah yang rajin ngabari dan ngantarkan. Tapi belum ada yang betul-betul cocok. Kebanyakan karena lokasinya ternyata zonk. Promonya bagus, realitasnya ngenes. Ada sih yang cocok dekat dengan area pusat Berbah, tapi ternayta berkonflik. Area lain yang cukup strategis sudah kami incar tapi kalah cepat dengan orang lain.

Setelah berbulan-bulan, kami hampir mantab dengan tanah di kawasan Petir, Piyungan. Seingat saya, tanah lewat makelar ini ditawarkan dengan harga 150 juta untuk 150 m2. MAsalahnya,  kawasan ini cukup jauh dari pusat kota, sekitar 14 km. Masalah lainnya, setelah dicek, kawasan Petir ada di jalur sesar Opak yang dianggap biang kerok banyaknya kerusakan saat gempa 2006. Cek peta ang dirilis Tirto ini.




Gerakan di patahan ini tidak diantisipasi dengan struktur bangunan memadai sehingga korban terbesar ada di sepanjang sesar opak. Lebih detail bisa dibaca di sini 

Soal gempa ini bikin saya pusing. Saya sampai jadi pengunjung rutin blok almarhum pak Rovicky yang begitu komprehensif memetakan gempa di Jogja sampai daerah-daerah rawan bencana. (semoga blog ini jadi amal jariyah yang enggak putus karena super bermanfaat). Blognya bisa dicek di sini https://geologi.co.id/2010/08/22/patahan-opak-yang-unik/

Pas lagi pusing-pusingnya, sambil browsing OLX ternyata ada satu iklan tanah di Berbah. Fotonya cukup meyakinkan, saya pun mengunjungi. Di tanah ini lah, kami akhirnya memutuskan untuk menebus dan membangun kediaman. 

-bersambung-