Tulisan ini sudah dimuat di Detikcom pada 23 Agustus 2019

Ketika mendengar rencana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengawasi media baru berbasis internet seperti Youtube dan Netflix, saya mengernyitkan dahi. Seriuskah pernyataan itu? Atau, jangan-jangan KPI sudah lupa pada tugas pokoknya yang faktanya sampai saat ini belum juga beres.


Dalam petikan video wawancara Ketua KPI Pusat Agus Suprio yang dimuat detikcom (12/8), dia menjelaskan panjang lebar dasar pemikirannya dan membeberkan sejumlah program terobosan yang akan dilakukannya selama menjadi Ketua KPI Pusat periode 2019-2022. Di antaranya merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) agar lebih mengedepankan kesetaraan gender, menghilangkan over-censorship di media massa penyiaran arus utama, hingga melebarkan sayap kewenangan KPI ke media berbasis internet.
Untuk beberapa program progresif seperti revisi P3SPS dan membenahi sensor terutama di televisi terestrial Indonesia yang berlebihan, saya memberikan apresiasi. Persoalan ini memang membuat program layar kaca Indonesia selama beberapa tahun terakhir terasa menyebalkan. Soal rencana mendorong peraturan agar ada rambu-rambu terhadap konten di internet pun pada dasarnya saya sepakat, aturan perundang-undangan penting agar kebebasan berekspresi di Indonesia terjamin. Walaupun jika direalisasikan, ada kemungkinan aturan ini akan bergesekan dengan UU ITE yang memiliki sejumlah pasal karet yang justru mengancam kebebasan berekspresi.

Namun, soal rencana pengawasan media berbasis internet seperti Netflix dan Youtube, rasanya KPI terlalu dini bicara soal ini.
Tergesa-GesaSetidaknya ada dua hal yang patut menjadi catatan. Pertama, platform penyiaran di internet tidak sebatas Netflix dan Youtube. Netflix hanya satu dari sekian banyak platform penyedia layanan video on demand. Sedangkan Youtube juga hanya satu dari ratusan situs yang mendukung aktivitas berbagi video. Maka akan aneh ketika pengawasan dibatasi hanya pada dua platform ini karena artinya KPI sudah tebang pilih.
Sementara, jika benar-benar serius ingin mengawasi konten penyiaran di internet, maka KPI juga harus mempertimbangkan dan mengawasi seluruh platform yang menyediakan layanan streaming radio di internet. Pertanyaan yang muncul, sanggupkah sumber daya KPI saat ini menjalankan tugas tersebut? Jawabannya rasanya sederhana, karena jangankan mengawasi ribuan platform yang menampung jutaan konten di internet, mengawasi televisi yang bersiaran secara nasional yang jumlahnya hanya belasan saja lembaga ini masih keteteran. Program-program tak bermutu yang rajin melanggar P3SPS dan terbiasa ditegur nyatanya masih rutin bersiaran stripping.
Catatan kedua, kultur media berbasis internet berbeda dengan media penyiaran konvensional yang masih menggunakan frekuensi analog. Pada media penyiaran konvensional berbasis analog, khalayak bersifat pasif, hanya bisa menjadi konsumen dan tanpa ada banyak pilihan program. Selain itu, frekuensi analog yang digunakan stasiun penyiaran dengan modal besar adalah sumber daya alam terbatas milik publik. Maka pengawasan wajib dilakukan dengan tujuan melindungi hak khalayak agar mendapatkan tontonan yang berkualitas dan para pemodal tak menyalahgunakan sumber daya alam frekuensi ini.
Kondisi itu jelas berbeda jika dibandingkan dengan media internet. Di area dengan sumber daya hampir tak terbatas ini khalayak bukan sekadar pasif menunggu sajian konten dari pemodal besar. Mereka tak hanya bisa menjadi konsumen, melainkan juga bisa bertransformasi menjadi prosumer, konsumen yang sekaligus mampu memproduksi konten. Maka tak perlu heran ketika ada konten kreator di berbagai medium penyiaran internet yang sukses dengan modal betul-betul minimal, hanya perangkat komputer rumah, jaringan internet, dan ketekunan mengolah ide kreatif.
Kondisi tersebut sekaligus antitesis dari konsep broadcasting di media penyiaran konvensional dan memunculkan konsep baru, narrowcasting. Konten yang dibuat di platform penyiaran internet tidak dibuat untuk menyasar khalayak secara luas, tapi khalayak dengan minat khusus yang selama ini tak terakomodasi media penyiaran konvensional.
Sementara, bagi mereka yang cukup puas sebagai konsumen internet, konsep narrowcasting menjadi jawaban atas kebutuhan konten yang selama ini tak bisa didapatkan di televisi atau radio analog. Hal ini berarti khalayaklah yang sebenarnya memiliki fungsi kontrol atas apa yang menurut mereka baik dan buruk. Jika khalayak sudah suka dan butuh terhadap suatu informasi, maka membatasi akses mereka bukan perkara sepele. Pembatasan di satu platform tak akan membuat khalayak dan prosumer konten menyerah untuk memenuhi kebutuhannya, masih banyak platform lain di Internet yang bisa menjadi alternatif.
Kondisi ini membuat pengawasan konten internet semakin rumit karena tak semata mengawasi institusi penyiaran besar yang bermain di wilayah internet dari pelanggaran, pengawasan juga harus dilakukan terhadap para khalayak media internet di Indonesia yang semakin hari semakin aktif dan terus bertambah. Bisakah KPI melakukannya? Rasanya sulit untuk jangka waktu dekat ini.
Dua catatan itu saja agaknya cukup untuk menilai rencana KPI melebarkan sayap ke ranah internet terasa tergesa-gesa. Apalagi ditambah pernyataan Ketua KPI Pusat dalam rekaman wawancara yang menyebut "hanya mengawasi, bukan membatasi" konten internet. Pernyataan itu membuat wacana tersebut semakin terasa prematur, karena jika pengawasan oleh pihak berwenang tidak dilakukan dalam konteks pembatasan dan kontrol, lantas apa bedanya para komisioner KPI dengan penikmat Youtube lainnya?
Pekerjaan Rumah Menumpuk
Kendati argumentasi KPI untuk mengawasi internet terasa janggal, apresiasi rasanya tetap pantas dilontarkan karena keberanian memiliki visi itu. Namun visi ke depan tak elok jika lantas menutupi tugas yang masih terbengkalai. Ketimbang membuat polemik soal pengawasan internet, tampaknya akan lebih bijaksana jika KPI menyelesaikan dahulu berbagai pekerjaan rumah yang menumpuk.
Setidaknya, satu tugas sudah tersebutkan soal kesetaraan gender di P3SPS dan menyelesaikan persoalan sensor berlebihan oleh televisi kita. Tetapi, masih ada sederet tugas lain yang belum kelar. Sebut saja pengawalan atas berbagai polemik RUU Penyiaran yang dianggap terlalu menguntungkan pemilik stasiun penyiaran yang pembahasannya masih mandek. Ada pula pekerjaan rumah mendorong dan mengawal rencana migrasi siaran televisi dari analog ke digital yang belum jelas kelanjutannya meskipun sudah ditarget rampung 2018 lalu.

Selain itu masih ada pula pekerjaan sepele seperti pengawasan mutu program siaran yang selama ini hanya sebatas gonggongan tanpa taring. Fokus terlebih dahulu pada hal-hal tersebut yang sudah menjadi ranah kerja KPI sejak pertama kali dibentuk rasanya justru lebih mendesak dilakukan saat ini. Apalagi media penyiaran konvensional, terutama televisi masih menjadi media yang paling banyak diakses masyarakat Indonesia dan menjadi rujukan utama bagi sebagian besar khalayak.
Kritik masyarakat atas wacana pengawasan konten internet rasanya harus menjadi sinyal bahwa KPI sebaiknya meninjau ulang arah kebijakannya. Jangan sampai visi progresif ini justru dipandang sebagai aji mumpung agar KPI bisa menggemukkan diri sekaligus menimbun tugas yang terbengkalai selama ini karena terburu-buru tanpa persiapan yang benar-benar matang.
Gilang Jiwana Adikara staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta