Sejumlah kalangan menyebut keberadaan internet dan media yang semakin berkembang membuat manusia modern saat ini berada dalam kondisi kebanjiran informasi. Seperti banjir air, banjir informasi memiliki dampak yang buruk, terlebih ketika banjir informasi terjadi menyusul bencana yang tengah terjadi di dunia nyata.

Fenomena pandemik coronavirus jenis baru yang menyebar pertama kali di Wuhan, Tiongkok segera menggegerkan dunia. Beritanya dikemas dalam berbagai sudut pandang. Dari yang mengklaim mendapatkan informasi dari sumber langsung di Wuhan sampai yang mencoba menganalisisnya dari arah lain. Informasi itu tentu saja perlu dan penting untuk diketahui. Namun sayangnya tidak semua informasi yang beredar berkualitas. Sebagian bahkan menyimpan bahaya.

Di antara berbagai informasi yang tersebar terkait pandemik ini tidak sedikit yang merupakan mis-informasi atau bahkan disinformasi yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk menyebarkan kekhawatiran. Kemasannya beragam, mulai dari yang dikemas seakan-akan berita sungguhan, analisis pakar, komedi, sampai dibalut sentimen SARA.
Kementerian Komunikasi dan Informatika bahkan sejak 28 Januari 2020 sudah berusaha meluruskan sekitar 23 informasi hoaks seputar virus corona yang tersebar di masyarakat.

Rutin Terjadi


Fenomena bencana susulan berupa banjir informasi palsu ini berulang hampir setiap kali sebuah peristiwa kebencanaan terjadi, baik bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia. Sebagian menduga ada yang berusaha memancing di air keruh dari kondisi yang penuh ketidakpastian ini. Motifnya beragam, mulai dari alasan ekonomi seperti berjualan konten di tengah kebutuhan masyarakat akan informasi yang tinggi sampai alasan lain seperti politik maupun ideologi personal dan kelompok.

Jika dipetakan, penyebaran kabar burung semacam ini utamanya dilakukan melalui aplikasi perpesanan instan dan media sosial. Dua medium ini memang menawarkan cara yang paling praktis untuk memproduksi dan menyebarkan informasi. Medium ini juga saat ini menjadi cara paling cepat untuk mendapatkan informasi. Kemudahan mengirim dan menerima informasi yang dipadukan dengan masih rendahnya kemampuan literasi media masyarakat menjadi kombinasi jitu untuk mempermudah penyebaran kabar yang salah.

Jangan sepelekan dampaknya. Kabar salah seputar bencana sangat berpotensi menyebabkan kekacauan. Di saat masyarakat khawatir akan keselamatan diri atau anggota keluarga, kebutuhan informasi yang akurat menjadi sangat penting. Tanpa adanya informasi yang tepat kekhawatiran akan semakin meningkat. Dalam konteks penuh ketidakpastian semacam ini, ketidakhadiran informasi menyebabkan ketidakpastian. Namun fenomena over informasi yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran akan menyebabkan kondisi yang lebih parah karena akan beredar asumsi lain yang semakin menyesatkan.

Celakanya, media massa arus utama yang semestinya bisa membantu meredam kecemasan justru terkadang ikut memperkeruh keadaan. Dengan mengatasnamakan jumlah klik dan jumlah kunjungan, sejumlah media massa terutama yang berbasis online tanpa rasa berdosa ikut bermain dengan menggunakan pendekatan clickbait, membuat judul berita yang berpotensi membuat orang salah mengambil kesimpulan karena tidak membaca isinya secara utuh.

Secara etika tindakan tersebut memang berada di ambang batas pelanggaran, belum benar-benar melanggar. Namun ketika media massa bereputasi nekat mempermainkan informasi, kepada siapa lagi masyarakat harus menyandarkan kebutuhan informasi?

Melawan Bersama


Solusi atas permasalahan ini sebenarnya sudah jamak dibahas, namun rasanya seperti menggarami lautan. Sebagai aktivis literasi media kami selalu menyarankan masyarakat untuk melakukan gerakan kroscek informasi yang mereka dapat dari mana saja, terutama media sosial maupun layanan perpesanan instan, ke situs-situs media massa yang memiliki kredibilitas baik.

Sayangnya gerakan untuk membuat masyarakat lebih awas dan mempercayai sumber informasi yang terpercaya seperti media massa bereputasi terkadang justru dikhianati oleh sumber-sumber bereputasi itu sendiri dengan alasan keuntungan.

Menyerahkan upaya untuk melawan bencana informasi sepenuhnya pada masyarakat tak akan mudah dicapai jika tak ada dukungan dari para jurnalis dan institusi media massa yang memiliki kekuatan untuk menyampaikan informasi yang beretika dan bertanggung jawab. Tanpa adanya situs yang tepat untuk melakukan konfirmasi informasi, upaya melawan bencana ini hanya akan terus menerus jatuh ke lubang yang sama.
Gilang Jiwana Adikara dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi)

*artikel ini pertama kali dipublikasikan di tautan berikut