Diskursus seputar perkosaan dalam pernikahan (marital rape) mencuat seiring menghangatnya gelombang protes terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ramainya perbincangan tentang topik ini media sosial mengungkap fakta bahwa masyarakat Indonesia masih awam dan cenderung meremehkan kasus kekerasan seksual dalam ranah domestik.

Pantauan tren dengan kata kunci "perkosa" dan "pemerkosaan" dalam konteks hubungan rumah tangga dan RKUHP di Drone Emprit pada periode 26 September-3 Oktober 2019 menunjukkan mayoritas pengguna Twitter masih merasa perkosaan dalam konteks hubungan suami-istri adalah hal yang mengada-ada. Proporsinya mencapai 76% dari seluruh mention yang terjadi. Sedangkan mention yang merasa permasalahan ini ada dan menjadi ancaman hanya sekitar 23%.

Topik ini mulai menghangat pada pengujung September dengan disebutkan lebih dari 2.000 kali pada 26 September dan mencapai puncaknya pada 27 September sebanyak 2.824 mention sebelum berangsur turun. Wacana perkosaan dalam pernikahan ini juga sempat sedikit menghangat pada awal Oktober meskipun tidak seriuh puncak sebelumnya.


Dari seluruh perbincangan ini, pada awal menghangatnya topik pemerkosaan dalam rumah tangga sebagian besar bernada negatif dan menolak adanya konsep perkosaan dalam hubungan pernikahan. Perbandingannya cukup timpang. Pada 26 September terdapat 2.194 respons negatif terhadap konsep perkosaan dalam rumah tangga dalam RKUHP berbanding tiga respons positif.

Sebagian besar pengguna merasa perkosaan dalam hubungan pernikahan adalah sesuatu yang mustahil. Kebanyakan juga berpendapat tidak mungkin ada pasangan yang melakukan perkosaan. Sebagian pengguna Twitter yang merespons negatif konsep ini juga merasa hubungan seksual dalam pernikahan merupakan bagian dari ritual ibadah dan menjadi kewajiban bagi istri untuk memenuhinya.

Yang menarik, tren sentimen tersebut mengalami pergeseran sejak 28 September. Pada waktu itu mulai muncul pergerakan narasi yang melawan sentimen negatif terhadap topik perkosaan dalam rumah tangga. Perlawanan ini bahkan mampu membalikkan mayoritas kicauan tentang topik ini dan bertahan hingga 3 Oktober . Meskipun demikian jumlahnya secara keseluruhan masih jauh dari anggapan miring seputar wacana perkosaan dalam hubungan pernikahan.

Gagal Paham

Fenomena tersebut menunjukkan masih banyaknya masyarakat yang gagal paham terhadap konsep hubungan seksual dalam pernikahan yang sehat. Padahal fenomenanya ada dan tak jarang menjadi sorotan media massa.

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Maret 2019 lalu menunjukkan catatan sebanyak 195 kasus perkosaan dalam pernikahan terjadi di Indonesia. Jumlah ini naik dari data laporan pada 2017 sebanyak 172 kasus. Angka yang muncul di catatan itu belum bisa mengungkapkan angka riil kasus perkosaan dalam pernikahan. Sejumlah pihak menduga catatan Komnas Perempuan hanyalah puncak gunung es dari seluruh kasus yang terjadi di Indonesia. Pasalnya, tidak semua korban berani melaporkan tindak kekerasan seksual yang diterimanya.

Negara bukannya abai pada persoalan ini. Undang-undang No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Bab III tentang Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 5 menyebutkan larangan terhadap kekerasan seksual. Pasal ini diperjelas pada Pasal 8 dan diancam dengan hukuman pidana sebagaimana pada pasal 46 dan 47. Walaupun demikian KUHP yang berlaku saat ini memang belum mengatur perkosaan dalam pernikahan secara eksplisit. Yang diatur di dalamnya baru perkosaan di luar pernikahan.

Tak hanya itu, sejumlah kasus perkosaan dalam pernikahan juga sebenarnya sudah terjadi dan akrab di telinga masyarakat. Salah satunya seperti kasus Vina Garut yang dieksploitasi oleh suaminya. Namun toh hal ini tak menyadarkan masyarakat bahwa tak selamanya pernikahan menjadi lampu hijau untuk berbagai aktivitas terutama yang melibatkan pasangannya.

Untungnya, mencuatnya polemik soal perkosaan dalam pernikahan belakangan ini memicu beberapa gerakan untuk menyebarkan kesadaran bahwa kekerasan seksual berupa perkosaan dalam kehidupan rumah tangga sangat mungkin terjadi dan tak hanya dapat dialami istri, melainkan juga suami. Sayangnya gerakan ini masih bersifat sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik karena hanya dilakukan oleh segelintir masyarakat yang miris terhadap fenomena ini.

Mencari solusi atas permasalahan ini menjadi semakin pelik karena nyatanya mayoritas masyarakat merasa hubungan pernikahan melegalkan berbagai perilaku seksual antar-pasangan. Padahal sebuah hubungan, terutama hubungan seksual memerlukan kesepakatan antar orang-orang yang terlibat (mutual consent), apa pun status hubungan yang ada.

Sejauh ini langkah yang paling memungkinkan untuk meningkatkan kesadaran mengenai fenomena gunung es ini secara luas adalah dengan memberikan pendidikan seks sejak dini, terutama untuk melekatkan pemahaman bahwa setiap orang memiliki hak atas tubuhnya dan pelanggaran atas hak tersebut merupakan sebuah bentuk pelanggaran yang memiliki konsekuensi hukum.

Namun jika melihat kenyataan bahwa upaya memberikan pendidikan seks sejak dini saja masih menjadi kontroversi dan belum ada kebijakan konkret, mungkin Indonesia masih butuh waktu yang cukup lama sampai logika sederhana soal pentingnya mutual consent dalam hubungan seksual ini bisa dipahami secara luas.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Detikcom, 9 Oktober 2019