Jakarta - Waktu kecil, karena malas membuang sampah ke luar kamar, saya kadang menendang sampah ke kolong dipan. Masalah selesai saat itu. Kamar saya tampak bersih. Saya pun bebas mengabaikan persoalan ini karena kotoran itu tak lagi ada di depan mata.
Persoalan menyembunyikan sampah ini ternyata tak hanya saya yang melakukan. Kita mungkin akrab dengan slogan "jangan buang sampah di sungai". Namun toh sungai-sungai kita tetap saja penuh sampah. Beberapa pelaku berpendapat mereka membuang sampah di sungai karena praktis. Prinsipnya simpel saja: muka rumah bersih dan rapi. Masa bodoh dengan sampah yang akan menumpuk di hilir, yang penting kotoran itu tak tampak di depan mata.

10 local superstitions you probably heard of before | Loop Trinidad & Tobago

Kebiasaan semacam ini rupanya tak hanya persoalan kebersihan fisik. Kebersihan mental juga sama saja. Kebiasaan ini bukan pula kebiasaan masyarakat jelata. Para pejabat kita juga punya hobi serupa. Ketika kasus kekayaan ganjil pejabat pajak Rafael Alun mencuat, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan larangan menampilkan kemewahan. Dia bahkan meminta klub moge di bawah Dirjen Pajak dibubarkan.

Langkah Sri Mulyani ini rupanya menjadi contoh bagi sejumlah kementerian dan BUMN lain. Media ramai memberitakan berbagai BUMN dan kementerian yang melarang pejabatnya menunjukkan gaya hidup mewah. Sebut saja Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL) Kementerian Perhubungan, PT Pelayaran Indonesia, Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kejaksaan Agung, PT Pelabuhan Indonesia, dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Sikap "menutupi aib" ini juga baru saja dilakukan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali yang meminta masyarakat untuk tidak memviralkan pelanggaran yang dilakukan turis asing di Bali. Berbagai kebijakan itu terasa lucu karena para pejabat kita tampaknya mengambil jalan menuntaskan masalah dengan langkah yang sama dengan yang dilakukan remaja puber untuk menutupi jerawat di wajah.

Takut Viral

Dalam konteks menunjukkan kekayaan, sebenarnya tak ada yang salah dengan menampilkan gaya hidup yang mewah selama kepemilikan harta itu didapat dengan cara yang sah dan tidak melanggar hukum. Pemerintah juga sudah memiliki mekanisme pelaporan kekayaan melalui sistem Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dikelola KPK.

Hidup mewah juga tak secara eksplisit dilarang dalam nilai inti lama ASN yang terdiri dari Akuntabilitas, Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen Mutu, dan Antikorupsi (Aneka). Dalam nilai inti ASN yang baru yang terdiri dari Berorientasi pelayanan Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif (Ber-AKHLAK) juga tak ada larangan untuk menikmati kekayaan. Yang ditekankan pada dua nilai inti ini adalah akuntabilitas dan semangat antikorupsi.

Akuntabilitas berarti semua kebijakan, tindakan, dan perilaku ASN wajib bisa dipertanggungjawabkan. Sementara semangat antikorupsi meskipun tidak secara gamblang muncul dalam akronim Berakhlak tetapi nilainya muncul juga dalam nilai akuntabel yang sudah disebutkan.

Sedangkan dalam konteks pelanggaran hukum, justru aneh ketika adanya pelanggaran justru diminta ditutupi dengan alasan takut berdampak pada kunjungan wisatawan mancanegara. Sebagai negara hukum, siapa saja yang ada di wilayah kedaulatan Indonesia wajib menaati peraturan yang berlaku. Kemenkumham malah harusnya berterima kasih karena semakin banyak video pelanggaran beredar, semakin ringan usaha mereka untuk mensosialisasikan kepatuhan hukum, tidak hanya kepada masyarakat setempat, tapi juga kepada turis asing dan pendatang.

Lantas mengapa mereka takut? Jika berkaca dari kronologi yang muncul dari beberapa kasus, agaknya para pejabat kita membuat peraturan itu bukan semata karena ingin membudayakan hidup sederhana, melainkan karena takut viral. Viral dianggap momok karena di situlah momen masyarakat mengamati kinerja instansi-instansi ini.

Rasanya tidak sekali-dua kali kasus-kasus besar terungkap justru karena viral. Bahkan tak jarang sebuah masalah pelayanan publik yang mandek bisa lekas selesai berkat viral. Maka jangan heran ketika saat ini warga Indonesia yang lebih dari 77% dari total populasinya sudah terhubung Internet cenderung suka mengadukan permasalahan ke media sosial dengan harapan keresahannya menjadi viral dan mempermudah mendapatkan solusi.

Dalam konsep budaya partisipasi yang berkembang di ruang digital, pengguna digital tidak bisa lagi dipandang sebagai kelompok yang pasif. Ruang digital, terutama media sosial telah membuka ruang bagi para pengguna untuk turut menjadi produsen makna. Maka muncullah istilah pengguna digital sebagai prosumer (produser-consumer).

Kekuatan baru ini membuat warga negara yang tadinya hanya kelompok tanpa suara dalam era media tradisional berubah menjadi kelompok yang memiliki peluang untuk bersuara secara lantang. Warga yang tadinya hanya menjadi khalayak pasif menjadi khalayak aktif. Peran pengawasan juga semakin demokratis karena tidak perlu lagi adanya media massa untuk mendukung fungsi pengawasan jalannya pemerintahan.

Jika dilihat secara optimis, keberanian warga untuk bersuara ini adalah peluang untuk mendorong transformasi pengelolaan negara menjadi lebih transparan dan akuntabel. Hal ini penting karena partisipasi publik adalah kunci jalannya praktik demokrasi yang sehat yang kini semakin mungkin muncul berkat teknologi digital.

Oleh karena itu agak aneh sebenarnya ketika para pejabat negara kita takut akan besarnya kekuatan warga dalam melakukan pengawasan ini. Sebab justru pengawasan dari masyarakat adalah hal yang baik karena menjadi bukti terwujudnya akuntabilitas dan transparansi kinerja pejabat negara. Menghindari sorotan justru mengindikasikan ada yang tak beres dalam pengelolaan instansi tersebut.

Pada akhirnya sikap para pengelola negara kita saat ini justru seakan-akan berusaha menutupi masalah, bukan menuntaskan masalah. Sama persis seperti kenakalan saya masa kecil. Awalnya semua baik-baik saja sampai ketika ada momen bersih-bersih rumah untuk menyambut puasa, semua aib saya terbongkar. Sampah-sampah menahun yang ada di kolong dipan pun terkuak keberadaannya.


Artikel ini sudah terbit di Detikcom dan dapat diakses melalui tautan berikut: https://news.detik.com/kolom/d-6664987/menyapu-sampah-ke-bawah-dipan?fbclid=IwAR1mUpvb5YAFY8Y9Aby23CV4JryMyfRGas1jbiZ90GrRo5IFHU6UdUFoB8s